Senin, 02 Agustus 2010

ANTARA UJIAN DAN KESABARAN

Oleh Al Ustadz Jafar Salih


“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (Qs. Al Ankabut: 3)

Kebanyakan orang mengira bahwa apabila ia beriman akan selamatlah kehidupannya dari berbagai bentuk cobaan dan ujian. Tidak akan datang kepadanya hal-hal yang menggoyahkan keimanannya. Padahal apabila kenyataannya adalah seperti yang mereka kira dan kondisinya seperti yang mereka sangka, tidak ada bedanya orang yang tulus beriman dengan yang sekedar pura-pura dan orang yang berada di atas kebenaran dengan para pengekor kebatilan. Oleh karena itulah sudah menjadi salah satu dari ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala terhadap orang-orang terdahulu, menurunkan cobaan dan ujian kepada mereka dengan kesenangan dan kesulitan, kesempitan dan kelapangan, senang dan susah, kekayaan dan kemiskinan dan yang lain sebagainya dari berbagai bentuk fitnah dan cobaan. Dan seorang hamba pada setiap kondisinya akan selalu membutuhkan kesabaran. Hal itu karena segala yang didapati hamba di dunia ini tidak lepas dari dua keadaan:

1. Perkara-perkara yang sesuai dengan seleranya. Berupa kesehatan, keselamatan, harta kedudukan dan yang lain sebagainya. Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam menghadapi kondisi-kondisi ini agar ia tidak tunduk kepadanya, tidak mabuk dengan kelezatannya dan tetap bisa menjaga hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta'ala pada hartanya untuk ia infakkan dan pada badannya untuk mengerjakan kebaikan.

2. Perkara-perkara yang bertentangan dengan seleranya. Dalam hal ini ada tiga macam:

Yang pertama: Macam-macam ketaatan. Seorang hamba membutuhkan kesabaran untuk mengerjakan ketaatan-ketaatan pada tiga keadaan:

Sebelum memulainya yaitu dengan cara meluruskan niat, ikhlas dan bertahan untuk tidak riya’.

Ketika pelaksanaannya, yaitu bertahan untuk tidak dilalaikan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala pada saat-saat pelaksanaannya.

Dan setelah usai mengerjakannya, yaitu dengan bersabar untuk tidak menceritakan kebaikan yang sudah ia kerjakan sehingga ia jatuh ke dalam sikap riya’ dan sum’ah. Barangsiapa yang tidak sabar dari hal ini ia telah menggugurkan pahala amalannya seusai ia mengerjakannya.

Yang ke dua: Bersabar untuk tidak melaksanakan kemaksiatan. Alangkah butuhnya seorang hamba kepada kesabaran dalam keadaan ini. Apabila perbuatan tersebut termasuk kemaksiatan yang mudah terjadi seperti maksiat lisan, ghibah, dusta, berbantah-bantahan dan yang lain sebagainya maka bersabar padanya lebih berat.

Yang ke tiga: Bersabar pada hal-hal yang di luar kehendaknya. Seperti musibah, bencana apakah kematian orang yang dicintai, harta yang binasa, hilangnya kesehatan dan segala macam bala’ dan bencana lainnya. Sabar pada kondisi-kondisi ini merupakan derajat yang paling tinggi karena ikatannya yang erat dengan keyakinan si hamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan Allah timpakan kepadanya musibah”. HR Al Bukhari.



Dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda menunjukkan tentang keutamaan sabar,

مَا يُصِيْبُ المُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حَزَنٍ وَلاَ أَذَى وَلاَ غَمٍّ حَتىَّ الشَّوْكَة يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang mukmin ditimpa kesusahan atau kesulitan, kesedihan atau kegundahan, dan tidak pula gangguan dan penyakit sampai duri yang menusuknya kecuali Allah Subhanahu Wa Ta'ala hapuskan dengannya dosa-dosanya”. Muttafaqun ‘Alaihi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.



Dan di dalam hadits yang lain,

لاَ يَزَالُ البَلاَءُ بِالمُؤْمِنِ أَوْ المُؤْمِنَةِ فِيْ جَسَدِهِ وَفِي مَالِهِ وَفِي وَلَدِهِ حَتىَّ يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Tiada henti-hentinya musibah dan bencana menimpa seorang mukmin laki-laki atau mukmin perempuan pada dirinya atau hartanya atau anaknya sampai dia bertemu dengan Allah dan tidak membawa setitik pun dosa”. HR At-Tirmidzi



Dan di dalam hadits Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah siapakah orang yang paling besar cobaannya? Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab,

الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُونَ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلىَ حَسَبِ دِيْنِهِ فَإِنْ كَانَ فِيْ دِيْنِهِ صَلاَبَةٌ زِيْدَ فِيْ بَلاَئِهِ وَإِنْ كَانَ فِيْ دِيْنِهِ رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ، وَمَا يَزَالُ البَلاَءُ بِالعَبْدِ حَتىَ يَمْشِيْ عَلىَ الأَرْضِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Para nabi kemudian orang-orang shalih kemudian yang setelahnya dan setelahnya dari keumuman manusia. Seseorang diberi cobaan sesuai kadar keimanannya, apabila keimanannya kuat ditambah bala’ kepadanya dan apabila keimanannya lemah diringankan cobaannya. Dan tiada hentinya bala’ menimpa seorang hamba sampai ia berjalan di muka bumi dan tidak memiliki dosa”.



Kemudian penting diketahui bahwa sebagaimana Islam mengajak dan menyeru kepada kesabaran, Islam juga menunjukkan kepada adab-adab dalam menjalani kesabaran, di antaranya:

1. Bersabar pada momentum yang pertama. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُوْلَى

“Sesungguhnya kesabaran yang terpuji adalah sabar pada momentum yang pertama”. Muttafaqun ‘Alaihi dari Anas bin Malik Ra.

2. Istirja’ yaitu mengucapkan “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun” ketika musibah menimpanya.

3. Menahan diri dari tindakan kelewat batas, seperti menampar pipi, menjambak rambut atau yang lainnya dari perbuatan-perbuatan yang menampakkan kedongkolan dan sikap tidak menerima.

Dan di antara adab yang indah dalam menjalani kesabaran: tidak menampakkan kepada orang lain bahwa dirinya sedang mendapatkan musibah, seperti yang dilakukan shahabat wanita yang mulia Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘Anha, ketika Allah Subhanahu Wa Ta'ala timpakan kepadanya musibah dengan kematian anaknya.

Bahwa suatu hari wafatlah anak laki-laki dari Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘Anha dan ketika itu suaminya Abu Thalhah Radhiyallahu ‘Anhu sedang tidak ada di rumah. Mengetahui sang suami segera pulang Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘Anha pun berdandan lebih cantik dari biasanya dan menyiapkan makanan dan melayani sang suami seperti tidak terjadi sesuatu di rumah itu. Selesai ia menjamu dan melayani suaminya, Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘Anha berkata kepada suaminya, “Apa pendapatmu apabila seseorang memberikan kepada kita suatu pinjaman kemudian dia memintanya kembali bolehkan kita menolak mengembalikannya? Sang suami menjawab, “Tentu tidak”. Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Anak kita sudah tiada dan harapkanlah dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala pahala”. HR Muslim

Begitu banyak kisah dari salafus shalih yang bisa dijadikan tauladan bagi kita dalam hal ini. Di antaranya bahwa suatu hari wafatlah seorang anak dari Mutharrif. Lantas Mutharrif keluar rumah dengan pakaian yang paling indah dan wangi. Dan orang-orang pun mengingkari perbuatannya seraya berkata, “Anakmu Abdullah wafat dan kamu keluar rumah dengan pakaian indah dan wangi seperti ini?!” Mutharrif berkata, “Apa aku harus tenggelam dalam kesedihan padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menjanjikan tiga keberuntungan kepadaku dan setiap keberuntungan itu lebih aku cintai dari dunia dan segala isinya”. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al Baqarah: 155-57)

Tiga keberuntungan itu adalah: “mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya dan mereka itulah orang-orang yang mendapati petunjuk”

Demikianlah walaupun musibah sesuai tabiatnya adalah menyakitkan akan tetapi para salaf melihatnya sebagai kesempatan untuk menggapai pahala dan keridhaan. Wallahu A’lam. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ عَظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْماً اِبْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِضَى، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُخْطُ

“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung besarnya cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah cinta kepada suatu kaum Allah timpakan kepadanya cobaan, barangsiapa yang ridha dia akan mendapatkan keridha’an dan barangsiapa yang benci dia akan mendapati kebencian”. HR At-Tirmidzi dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.



Kemudian di antara faktor yang sangat membantu meringankan bala’ dan bencana tatkala datang menimpa adalah meningkatkan kesadaran dan keimanan terhadap takdir. Bahwa segala sesuatu sudah Allah Subhanahu Wa Ta'ala takdirkan baik atau buruk. Allah Swt berfiman di dalam Al Qur’an,

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (dengan takdir)”. (Qs. 54:49)

Dan yang dimaksud dengan beriman dengan takdir adalah, beriman bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengetahui segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam semesta ini, di langit maupun di bumi, dan bahwasanya semuanya itu ada dan terjadi dengan kehendak-Nya, sebelum Dia menciptakan makhluk-makhluk-Nya.

Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash Ra, ia berkata, “Saya mendengar Nabi Saw bersabda,

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah Swt telah menulis takdir seluruh makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum ia menciptakan langit dan bumi”.

Apabila yang menimpanya berupa musibah, dengan keimanannya kepada takdir akan semakin kuatlah kesabarannya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Qs. 64:11)

Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman,

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Luhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (Qs. 57:22)

Dan apabila kebaikan yang ia dapat ia tidak menjadi sombong, karena ia tahu bahwa semuanya itu didapat dengan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata,

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Qs. 57:23)

Dan diantara faidah beriman kepada takdir, seorang hamba akan kuat tawakkalnya, karena tidak ada satu manfaat maupun kemudharatan yang menimpa seorang hamba kecuali hanya terjadi dengan kehendak Allah Swt. Dan tidak satupun dari perkara di langit maupun di bumi yang keluar dari takdirnya Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda,

“Dan ketahuilah bahwa seandainya ummat berkumpul untuk memberi kepadamu suatu manfaat sesungguhnya mereka tidak akan mampu kecuali dengan apa yang telah Allah Swt tuliskan sebagai bagianmu. Dan apabila ummat berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu sungguh mereka tidak mampu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan menimpamu” HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas Ra.

Dan dalam riwayat yang lain,

وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لمَ ْيَكُنْ لِيُصِيْبَكَ وَمَا أَصَابَكَ لمَ ْيَكُنْ لِيُخْطِئَكَ

“Dan ketahuilah bahwa apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu dan apa saja yang bakal menimpamu tidak akan lput darimu”.

Wallahua’lam bis Shawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar